JAKARTA, BNN – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan dengan penerapan sistem Pemilu proporsional tertutup lebih mudah mencapai kuota 30 persen keikutsertaan perempuan di bidang politik, ketimbang sistem proporsional terbuka.
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan saat membacakan pertimbangan dalam dalam sidang putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem Pemilu, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023) kemarin. “Jika ada pendapat yang menyatakan dengan menggunakan sistem proporsional tertutup akan lebih mudah mencapai kuota perempuan minimal 30 persen, pendapat tersebut belum dapat dinilai kebenarannya dan belum konklusif,” kata Saldi. Saldi mengatakan, MK berpendapat kebijakan 30 persen kuota perempuan di bidang politik merupakan suatu affirmative action yang sifatnya sementara, dengan menerapkan adanya kewajiban bagi parpol untuk menyertakan caleg bagi perempuan.
Dia melanjutkan, hal itu merupakan wujud tindak lanjut dari konvensi perempuan se-Dunia pada 1995 di Beijing, China, dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi, yakni Undang-Undang 68/1958, UU 7/1984, UU 12/1985 tentang hak sipil dan politik, hasil sidang umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW). Saldi juga merujuk kepada data hasil Pemilu yang dilaksanakan setelah perubahan UUD 1945.
Dia mengatakan, dalil para pemohon mengenai sistem proporsional terbuka menyebabkan caleg perempuan kurang mendapatkan kursi tidak sesuai dengan fakta hasil Pemilu amendemen UUD 1945.
“Meskipun belum mencapai kuota, minimal 30 persen, setidak-tidaknya sejak pemilihan umum menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka anggota DPR dari perempuan cenderung meningkat,” ujar Saldi. “Secara statistik, sejak era proporsional terbuka pada pemilihan umum 2009 tercatat 101 perempuan (18 persen), pemilihan umum 2014 tercatat 97 perempuan (17,3 persen), pemilihan umum 2019 tercatat 120 perempuan (20,8 persen),” sambung Saldi.
Saldi mengatakan, MK menyadari sistem pemilihan umum proporsional terbuka atau tertutup bukan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan keterpilihan perempuan. “Namun juga dipengaruhi faktor lain misalnya pola rekrutmen di internal partai politik, kesadaran partai politik terhadap pentingnya keterwakilan perempuan, dan pendidikan politik,” papar Saldi.
Sebelumnya, MK tidak mengabulkan gugatan untuk mengganti sistem pemilu legislatif sebagaimana dimohonkan dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022. Dengan putusan itu, pemilu legislatif yang diterapkan di Indonesia, sejauh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak diubah, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti yang telah diberlakukan sejak 2004
“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh hakim konstitusi lain (minus Wahiduddin Adams), dalam sidang pembacaan putusan. Mahkamah menyatakan, berdasarkan pertimbangan terhadap implikasi dan implementasi sistem pileg daftar calon terbuka, serta original intent dan penafsiran konstitusi, dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.(BNN 05)
No comment